Ulil Blog

Selamat datang, semoga bermanfa'at.

Ulil Blog

Selamat datang, Semoga bermanfa'at.

Ulil Blog

Selamat datang, Semoga Bermanfa'at.

Ulil Blog

Selamat datang, Semoga bermanfa'at.

Ulil Blog

Selamat datang, semoga bermanfaat.

Friday 3 May 2013

Kandungan Bahan Haram dalam Makanan dan Obat

Bagi umat islam mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyib merupakan bagian dari perintah agama. Demikian juga meninggalkan makanan yang haram adalah kewajiban yang tidak ditawar-tawar lagi. Kesadaran masyarkat muslim perkara yang wajib ini perlu di pertanyakan lagi. Kesadaran masyarakat muslim terhadap perkara yang wajib ini perlu dipertanyakan lagi karena sudh menjadi suatu pedoman hidup. Sebagai konsumen produk pangan sudah seharusnya umat islam mendapakan jaminan dari para produsen atas kehalalan produk-produk pangan yang beredar di komunitas muslim. Faktanya, konsumen sulit untuk mengetahui apakah suatu produk mengandung bahan haram ataukah tidak. Kecuali bila produk tersebut tak bersertifikat halal semuanya mengandung bahan haram. Selain produk pangan, ada pula produk lainnya yang status kehalalannya belum menjadi perhatian masyarakat yaitu produk obat-obatan, khususnya obat yang digunakan dengan cara ditelan atau di minum

Hingga saat ini kita belum pernah melihat obat resep dokter yang berlabel halal. Bagaimanapun juga obat yang ditelan pada hakekatnya adalah makanan. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh para perintis ilmu kedokteran seperti Hipokrates ataupun Ibnu Sina (Avisena) bahwa obat adalah makanan dan makanan pun adalah obat. Jelas sekali obat dan makanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu maka status kehalalan obat-obatan terutama yang ditelan adalah wajib adanya bagi kaum muslim.
Sekarang ini untuk produk minuman dan makanan olahan, sertifikasi kehalalannya sudah diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1996. Sertifikat halal ini diberikan setelah suatu produk pangan diperiksa oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), melalui proses audit yang ketat dalam hal asal-usul bahannya, komponen campurannya maupun proses produksinya. Namun, sayang sekali pada prakteknya sertifikasi halal produk pangan ini tidak diwajibkan kepada tiap produsen, tetapi hanya bersifat sukarela bergantung kepada kemauan produsen apakah mau ataukah tidak untuk mendapatkan sertifikat halal.
Dan yang lebih disayangkan lagi adalah karena sertifikasi halal ini belum menyentuh kepada produk obat-obatan resep dokter. Sepertinya masyarakat kita sampai saat ini masih sangat-sangat permisif terhadap status halalnya obat-obatan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat bahan-bahan yang berasal dari barang yang haram, misalnya babi. Sikap permisif ini barangkali karena adanya pemahaman tentang Hukum Darurat yang kurang terkontrol. Padahal dalam ajaran Islam, darurat itu ada batasannya. Memang benar bahwa barang yang haram itu bisa menjadi halal bila dalam keadaan yang sangat darurat, sebagaimana halnya bangkai hewan, darah ataupun daging babi yang bisa halal dimakan bila dalam keadaan darurat (Alquran Surat Al-Baqarah : 173). Namun dalam kasus obat-obatan sepertinya hukum darurat ini kesannya terlalu diperlebar dan berlebihan, sehingga bahan obat apapun akan dianggap halal tanpa kecuali, karena berlindung di balik tameng darurat. Kalau kita menyimak prinsip hukum darurat yang digambarkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist, sebenarnya hukum darurat itu diterapkan hanya bila dalam keadaan yang sangat terpaksa saja.


173. Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Alquran Surat Al-Baqarah : 173)

Sebagaimana juga dalam masalah dihalalkannya bangkai hewan, yaitu bilamana minimal dalam sehari semalam (misalnya di tengah gurun pasir) tidak menemukan makanan apapun, kecuali hanya bangkai binatang itu saja satu-satunya. Namun mengkonsumsinya pun tidak boleh berlebihan, tapi sekedar untuk bisa bertahan hidup. Adapun dalam hal obat-obatan resep dokter, dengan semakin majunya bidang farmasi, maka banyak sekali variasi dan jenis obat-obatan yang umumnya berasal dari bahan yang tidak haram. Dengan demikian masyarakat ataupun para dokter mempunyai banyak pilihan atau alternatif dalam menentukan jenis obat yang tepat dan rasional untuk diresepkan bagi pasiennya.

A. Unsur Babi (Porcine)
Menurut ahli farmasi bahwa bahan-bahan aktif obat pada merk obat tertentu, bila diteliti lebih jauh ada yang menggunakan bahan baku yang diharamkan di dalam ajaran Islam, misalnya babi. Sebagai contoh, ada obat suntik merk tertentu untuk mengobati penyakit kencing manis (diabetes melitus) yang berasal dari hormon insulin babi (porcine).
Sementara itu banyak pula obat suntik lainnya yang khasiat dan fungsinya sama untuk kencing manis, tetapi tidak berasal dari porcine atau babi. Lantas apakah masih bisa diyakini bahwa obat yang berasal dari babi itu masih halal digunakan dengan alasan darurat, padahal ada obat lainnya yang halal ? Bila hukum darurat ini dipahami dengan sebenarnya, maka pasti tidak akan ada muslim yang berani menghalalkan obat yang berasal dari babi ini, karena dasar untuk hukum daruratnya saat ini tidak terpenuhi.
Hal ini mengingat masih banyak pilihan merk obat lainnya yang tidak mengandung unsur babi. Oleh karena itu pemahaman yang berasumsi bahwa benda apapun akan halal dikonsumsi bila untuk obat, haruslah segera ditinggalkan jauh-jauh karena tidak sesuai dengan Syariah. Selama ini umumnya masyarakat tidak mengetahui dari apa saja dibuatnya bahan aktif suatu obat. Demikian juga pada brosur obat-obatan yang ada, produsen obat biasanya tidak menjelaskan asal-usul bahan aktif dan bahan penyerta pada produk obatnya secara lengkap. Para dokter pun mungkin belum tentu semuanya mengetahui asal-usul dibuatnya bahan dasar semua obat-obatan.
Hal ini karena di dalam kurikulum pendidikan dokter, masalah asal-usul bahan dasar pada setiap jenis obat ini tidak dibahas secara lengkap. Dalam materi kuliah tentang obat bagi mahasiswa kedokteran memang lebih ditekankan kepada mempelajari masalah mekanisme kerja obat di dalam tubuh, termasuk dalam hal khasiat obat, reaksi kimia, dosis, efek samping dll. Sedangkan masalah teknologi bahan obat maupun teknis pembuatan obat tidak dipelajari lebih jauh, karena masalah ini adalah bidangnya kalangan farmasi. Oleh karena itu para ahli farmasi muslim perlu sekali menjelaskan, bahan aktif obat apa saja yang berasal dari bahan-hahan yang haram, agar umat Islam mudah untuk menghindarinya. Hal ini mengingat bahwa obat-obatan itu umumnya adalah produk impor dari luar negeri, yang diciptakan atau diformulasikan oleh ilmuwan yang belum tentu mengenal masalah halal dan haram. Berikut daftar penggunaan bagian-bagian tubuh babi dalam berbagai macam produk:
1. Ujicoba senjata kimia: karena kesamaan jaringan kulit /daging babi dengan manusia.
2. Eskrim: gelatin mencegah kristalisasi gula dan memperlambat proses pencairan.
3. Pupuk: dibuat dari bulu babi yang diproses.
4. Mentega rendah lemak: gelatin digunakan untuk memperbaiki teksturnya.
5. Bir: gelatin digunakan untuk mencerahkan warna minuman agar tidak keruh.
6. Pelembut pakaian: asam lemak dari tulangnya memberi warna
7. Kuas cat: dibuat dari bulu babi.
8. Jus buah: gelatin membuat warnanya tampak cerah.
9. Shampo: asam lemak dari tulang digunakan untuk membuat penampilannya terlihat seperti mutiara.
10. Lilin: asam lemak dari tulang memperkeras bahan lilin (wax) dan meningkatkan titik lumernya.
11. Roti: protein dari bulu babi digunakan untuk melembutkan adonan.
12. Peluru: gelatin dari tulang digunakan untuk mempermudah proses pemasukan bubuk mesiu ke dalam cangkang peluru.
13. Tablet obat: gelatin digunakan untuk pembungkusnya agar lebih keras.
14. Bubuk pembersih / deterjen: asam lemak dari tulang, digunakan untuk mengeraskan serbuknya.
15. Cat: asam lemak dari tulang digunakan untuk meningkatkan efek kilaunya.
16. Tamborin: dibuat dari kantung kemih babi.
17. Minuman anggur: gelatin menyerap elemen keruh sehingga membuat cairannya bening
18. Kertas: gelatin dari tulang digunakan untuk meningkatkan kekakuan dan mengurangi kelembaban.
19. Heparin: digunakan untuk mencegah terjadinya pembekuan darah, diambil dari lendir yang ada di usus babi.
20. Sabun: asam lemak dari tulang digunakan untuk memperkeras dan memberi warna sabun.
21. Gabus: gelatin tulang digunakan untuk merekatkannya.
22. Insulin: diambil dari pankreas babi, karena hampir mirip dengan struktur kimia dalam tubuh manusia.
23. Yogurt: kalsium dari tulang babi ditambahkan ke dalam proses pembuatan yogurt.
24. Rokok: hemoglobin dari darah babi digunakan dalam pembuatan filter rokok yang diharapkan bisa mengurangi efek kimia yang masuk kedalam tubuh perokok.
25. Negatif film: gelatin tulang babi digunakan sebagai zat perekat pada lembaran film.
26. Makanan anjing: hemoglobin darah babi digunakan sebagai zat pewarna merah.
27. Terapi fotodinamik: hemoglobin digunakan dalam obat untuk merawat retina mata. Obat itu diaktifkan dengan menembakkan sinar laser ke dalam mata.
28. Pelembab: menggunakan asam lemak tulang babi.
29. Camilan anjing: moncongnya digoreng.
30. Krayon: asam lemak digunakan untuk mengeraskannya.
31. Sepatu / tas: lem tulang babi digunakan untuk meningkatkan tekstur dan kualitas kulit (hewan apapun). Di samping itu banyak juga sepatu yang terbuat dari kulit babi (bisa dilihat dari corak bintik pada kulit)
32. Rem kereta: abu tulang babi digunakan dalam proses produksinya.
33. Pasta gigi: glycerin babi digunakan utuk membentuk tekstur pastanya.
34. Lem transparan: lem sangat kuat yang digunakan dalam industri perkayuan, diturunkan dari kolagen babi.
35. Masker wajah: kolagen untuk menghilangkan kerut.
36. Energi alternatif: bagian-bagian sampah yang tersisa digunakan sebagai bahan bakar untuk listrik.
37. Energy bar: kolagen yang diproses merupakan sumber protein yang murah untuk para binaragawan atau mereka yang ingin membentuk tubuhnya.
38. Keju krim: gelatin menjadikannya stabil.
39. Whipped cream: gelatin memperbaiki teksturnya.
40. Permen: gelatin babi digunakan untuk bahan perekat dan pembuat gel, dan memastikan bahwa adonan permen mencapai tekstur tertentu. Sering digunakan untuk pembuatan jenis permen liquorice, permen kenyal dan permen karet.

B. Alkohol (Etanol)
Bahan obat lainnya yang mungkin masih dianggap darurat adalah alkohol (etanol) yang biasa dipakai sebagai pelarut pada obat-obatan sirup jenis tertentu. Masalah alkohol ini memang ada perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslimin tentang status halal dan haramnya di dalam obat, terutama dalam penggunaan untuk campuran obat-obat sirup. Namun, perlu juga kita ketahui, hasil rapat Komisi Fatwa MUI tahun 2001 menyimpulkan bahwa minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol minimal 1 % (satu persen).
Menurut analisis para pakar, memang minuman beralkohol (etanol) di atas 1% akan berpotensi memabukkan. Hal ini merujuk pada keterangan hadis Rasulullah SAW riwayat Muslim dan Ahmad. Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang meminum air jus buah-buahan yang sudah didiamkan lebih dari 2 (dua) hari karena bisa memabukkan (khamar). Menurut pakar teknologi pangan, memang air jus buah yang didiamkan lebih dari 2 hari di dalam suhu kamar akan menghasilkan alkohol (etanol) dengan kadar sekitar 1 %. Dengan adanya patokan 1 % ini, maka akan mudahlah bagi kita untuk memilih dan menentukan apakah suatu produk obat sirup itu dikatagorikan sebagai minuman keras atau bukan. Pembatasan kadar alkohol ini sangat perlu dan dimaksudkan untuk mencegah, karena prinsip Islam itu adalah mencegah ke arah yang haram.
Pada acara muzakarah tentang alkohol dalam minuman yang diselenggrakan MUI pada tahun 1993, dr Kartono Muhammad MPH, selaku ketua umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat itu, mengatakan bahwa fungsi alkohol dalam obat yang diminum sudah dapat digantikan dengan bahan lain sehingga disarankan untuk mencari alternatif pengganti alkohol dengan jenis pelarut lainnya yang lebih aman secara Syariah. Kenyataan yang ada di masyarakat sekarang ini tidak sedikit obat-obatan sirup tertentu yang mengandung kadar alkohol yang lebih dari batas 1 %, baik obat resep dokter maupun obat yang dijual bebas. Akan tetapi ternyata merk obat sirup yang tanpa alkohol ataupun yang alkoholnya kurang dari 1%, jumlahnya jauh lebih banyak dari pada obat sirup yang berkadar alkohol lebih dari 1%. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan darurat untuk menghalalkan obat sirup yang kadar alkoholnya lebih dari 1 %, karena masih banyak pilihan obat lainnya baik yang berbentuk sirup maupun pil atau serbuk puyer yang memang tanpa alkohol. Bila alkohol atau etanol ini berada pada campuran obat-obatan antiseptik untuk pemakaian pada tubuh bagian luar atau permukaan kulit, dan bukan untuk diminum, tentunya masih bisa dimaklumi. Meskipun larutan antiseptik kulit umumnya berkadar alkohol 70 %, hal ini tidak perlu untuk dipermasalahkan, karena obat luar ini tidak untuk diminum. Bila melihat dalilnya di dalam Alquran maupun hadis bahwa khamar (minuman keras) itu hanyalah haram untuk diminum. Tetapi, bila minuman keras ini hanya disentuh atau dioleskan ke permukaan kulit maka tidak akan menjadikannya haram. Mungkin untuk masalah ini masih terdapat perbedaan pendapat di antara kaum muslimin. Oleh karena itu walaupun larutan antiseptik ini kadar alkoholnya hingga 70 % dan sangat berpotensi memabukkan atau bahkan bisa mematikan bila diminum, tapi tidaklah terlarang untuk dioleskan ke kulit yang luka. Jatuhnya hukum haram itu apabila larutan memabukkan ini diminum, dan bukannya dioleskan ke kulit. Dengan demikian, penggunaan alkohol yang berkadar lebih dari 1 % untuk penggunaan antiseptik di permukaan kulit yang terinfeksi atau luka, masih bisa diterima oleh dalil Syariah.
Lantas bagaimanakah hukumnya meminum minuman keras (khamar) untuk tujuan pengobatan menurut pandangan para fuqoha? Di dalam kitab Fikih Sunnah Sayyid Sabiq dikatakan bahwa dahulu pada zaman jahiliyah, ada orang-orang yang biasa meminum arak dengan dalih untuk pengobatan. Namun setelah datang ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, mereka dilarang menggunakannya dan sekaligus diharamkan meminumnya meskipun untuk tujuan pengobatan. Imam Ahmad, Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Thariq bin Suaid Al Ju'fie, bahwasanya Suaid menanyakan kepada Rasulullah SAW mengenai khamar, lalu Rasulullah SAW melarangnya. Kemudian ia menjelaskan kepada Rasulullah bahwa minuman keras ini dibuatnya untuk pengobatan, lalu beliau bersabda : ''Sesungguhnya khamar itu bukan obat, tapi justru penyakit.'' Dalam hal obat yang berpotensi memabukkan, barangkali hanya obat bius (anestesi) saja yang bisa dikatagorikan darurat. Bagaimanapun juga, sesungguhnya orang yang dibius di kamar operasi bedah itu, pada dasarnya adalah orang yang sengaja dibuat mabuk hingga tak sadarkan diri, hanya saja mabuknya terkendali. Namun status darurat bagi obat bius pun ada batasannya. Tentu saja batasannya adalah: siapa yang memakainya dan untuk apa tujuannya. Dengan demikian status darurat obat bius ini hanyalah berlaku bila digunakan oleh ahlinya untuk tujuan pengobatan yang rasional, dan bukan untuk drug abuse atau penyalahgunaan obat, seperti untuk teler atau mabuk-mabukan. Oleh karena itu hukum darurat obat bius ini akan berlaku bila pemakaiannya bukan untuk perilaku yang bertentangan dengan aturan Allah SWT.
C. Plasenta dan air kemih
Akhir-akhir ini organ tubuh yang disebut plasenta sedang tren digunakan dalam produk kosmetika maupun obat tertentu. Plasenta atau disebut juga ari-ari, adalah jaringan yang tumbuh di dalam rahim wanita ketika hamil, yang merupakan penghubung antara janin yang dikandung dengan ibu hamil yang mengandungnya. Plasenta ini berfungsi untuk menyalurkan zat-zat makanan, air, oksigen, dan zat-zat lainnya dari darah ibu hamil ke darah janin. Sebaliknya plasenta juga berfungsi untuk membuang karbondioksida, sisa metabolisme atau sampah, serta zat-zat lainnya dari janin ke tubuh ibu hamil. Plasenta atau ari-ari ini memang selalu ditemukan pada semua makhluk hidup jenis mamalia yang sedang hamil, dan akan lepas dibuang dari rahim ketika melahirkan setelah keluarnya bayi. Adapun plasenta yang sering digunakan untuk kosmetika atau produk kesehatan tersebut, bisa berasal dari plasenta hewan atau dari plasenta manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa sekarang ini pada layar televisi sering dijumpai iklan produk kecantikan atau produk untuk kesehatan yang tanpa kita sadari menggunakan plasenta sebagai salah satu bahan aktifnya. Plasenta dalam bentuk krim yang dioleskan ke permukaan kulit maupun dalam bentuk pil yang ditelan, diyakini dapat berfungsi untuk regenerasi sel-sel kulit sehingga dapat mempertahankan kulit agar tetap sehat, segar, muda dan cantik. Tidak hanya itu, plasenta juga diyakini mampu mengembalikan kemulusan kulit akibat luka atau penyakit kulit. Tetapi dari manakah plasenta ini berasal? Menurut ahli farmasi, yang paling banyak digunakan oleh industri obat-obatan di luar negeri, justru adalah plasenta manusia yang diperoleh dari berbagai rumah sakit bersalin di sana. Kalaupun plasentanya berasal dari hewan, tentunya konsumen pun tidak akan tahu hewan apa yang diambil plasentanya, apakah babi, sapi ataukah apa? Dalam ingredien atau daftar komposisi pada kemasan produk obat berplasenta ini memang biasanya tidak disebutkan asal-usul plasentanya.
Meskipun kebanyakan penggunaan plasenta manusia ini bukan untuk produk pangan, akan tetapi penggunaan organ tubuh atau setidaknya penggunaan bagian dari kehidupan manusia ini telah menimbulkan pro dan kontra. Selain dari segi peradaban, sebetulnya yang lebih penting bagi umat Islam adalah halal atau tidaknya penggunaan plasenta maupun jaringan tubuh manusia lainnya bila dikonsumsi untuk tujuan pengobatan. Demikian pula pengobatan tradisional dengan cara meminum air kencing (urine) yang keluar dari alat kelamin orang yang meminumnya, telah menjadi kontroversi di kalangan umat Islam, mengingat air kencing menurut ajaran Islam termasuk benda yang najis. Di kalangan medis pun terapi air seni atau urine ini masih mengundang pro dan kontra. Namun, apa pun khasiat yang bisa ditemukan di dalam air kencing ini, bagi umat Islam tak ada alasan darurat untuk meminumnya selama masih ada obat lainnya yang bisa digunakan. Apalagi kalau meminum air seni dari tubuhnya sendiri ini hanya sekedar untuk mencoba-coba saja, maka harus dihindarkan oleh kaum muslim. Sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lama menyoroti masalah pengobatan tradisional dengan air seni maupun tentang penggunaan plasenta manusia pada obat dan kosmetika. Untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat luas dan menghindari kesalah pahaman, secara khusus MUI dalam Munas tahun 2000 yang lalu telah membahas masalah plasenta manusia dan terapi urine ini. Dalam Keputusan Fatwa MUI nomor: 2/Munas /VI/ MUI/ 2000 ditetapkan bahwa :

a. Yang dimaksud dengan :
1. Penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan, dan bukan menggunakan obat pada bagian luar tubuh.
2. Penggunaan air seni adalah meminumnya sebagai obat.
3. Penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar tubuh dengan tujuan perawatan tubuh dan kulit, agar tetap atau menjadi baik dan indah.
4. Al-Istihalah adalah perubahan suatu benda menjadi benda lain yang berbeda dalam semua sifat-sifatnya dan menimbulkan akibat hukum dari benda najis atau mutanajis menjadi benda suci dan dari benda yang diharamkan menjadi benda yang dibolehkan (mubah).
b. Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organ tubuh manusia, hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan diduga kuat dapat menyembuhkan menurut keterangan dokter ahli terpercaya.
c. Penggunaan air seni manusia hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan diduga kuat dapat menyembuhkan menurut keterangan dokter ahli terpercaya.
d. Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya adalah haram. Kecuali setelah masuk ke dalam proses Istihalah.
e. Menghimbau kepada semua pihak agar sedapat mungkin tidak memproduksi dan menggunakan obat-obatan atau kosmetika yang mengandung unsur bagian organ manusia atau berobat dengan air seni manusia.
Dengan adanya fatwa MUI tersebut, maka jelaslah bahwa pemakaian air kencing manusia dan plasenta manusia ini bila tidak dalam status darurat, maka hukumnya adalah haram bagi umat Islam. Apalagi bila masih ada obat-obat lain yang masih bisa digunakan, maka penggunaan air kencing maupun plasenta manusia sebagai obat, tidak ada dasar kedaruratannya. Kalaupun memang darurat, maka ukuran kedaruratannya ini tidak bisa hanya berdasarkan perasaan seseorang belaka, tetapi harus berdasarkan pertimbangan obyektif dari beberapa orang ahli kesehatan yang berkompeten, sekurang-kurangnya dari 3 (tiga) orang ahli. Jadi, kondisi darurat ini tidak bisa hanya berdasarkan kepada pertimbangan satu orang ahli saja. Adapun ukuran darurat ini menurut pakar hukum Syariah adalah ancaman nyawa atau kematian. Artinya bila menurut pertimbangan dari minimal 3 orang dokter ahli, misalnya dinyatakan bahwa seorang pasien akan berisiko meninggal dunia bila tidak segera meminum air kencingnya atau obat berplasenta, sementara tidak ada satu pun obat lainnya yang bisa digunakan, maka status air kemih atau plasenta ini akan menjadi halal bagi orang tersebut pada saat itu.
Namun bila ternyata masih ada obat lainnya yang bisa digunakan, maka sifat kedaruratan air seni atau obat berplasenta ini menjadi batal atau tidak syah secara hukum Syariah alias haram. Bagi kaum muslim, sudah seharusnya saat ini untuk berhati-hati dalam membeli produk-produk yang kemungkinan mengandung plasenta manusia, minimal dengan membaca komposisi bahan-bahan yang tertulis di dalam kemasannya. Tentunya hal ini akan menambah kewaspadaan agar tidak terjebak oleh produk yang haram untuk dikonsumsi. Menurut seorang pakar farmasi yang juga staf ahli di LPPOM-MUI, sekarang ini di pasaran ada beberapa obat pil atau kapsul merk tertentu yang bahan aktifnya terbuat dari plasenta manusia. Di antaranya adalah obat perangsang atau pelancar air susu ibu (ASI). Penggunaan obat ini yaitu untuk menstimulasi aktifitas kelenjar air susu ibu, agar setelah melahirkan produksi ASI-nya meningkat. Namun perlu juga diketahui bahwa masih ada obat jenis lain yang khasiatnya serupa tapi tidak mengandung plasenta manusia. Sesungguhnya obat-obatan yang dijual bebas maupun obat resep dokter itu banyak sekali jenis dan variasinya. Dengan demikian maka banyak sekali alternatif yang bisa dipilih oleh masyarakat atau oleh dokter dalam menuliskan resepnya. Oleh karena itu sekarang ini tidak ada alasan darurat bagi umat Islam untuk meminum air kencingnya sendiri maupun menggunakan bahan yang mengandung plasenta manusia dengan dalih untuk pengobatan.

2.2 Obat Berlabel Halal
Dengan semakin banyaknya variasi dan jenis obat, maka obat-obatan yang berasal dari bahan yang haram atau memabukkan (kecuali obat bius), sudah seharusnya ditinggalkan oleh umat Islam. Selama masih ada alternatif obat lainnya yang halal, maka tidak ada alasan darurat bagi pemakaian obat-obatan yang mengandung bahan haram. Berhubung banyaknya obat-obatan yang diragukan dan tidak dijamin kehalalannya, maka sekarang sudah saatnya Departemen Agama, Departemen Kesehatan RI dan MUI membahas masalah status halal bagi obat-obatan. Apalagi sekarang ini populasi berbagai jenis obat cukup banyak seiring dengan semakin majunya bidang farmasi dan hampir setiap tahun selalu hadir berbagai merk obat-obatan yang baru.
Terlebih lagi karena obat-obatan itu umumnya adalah produk dari luar negeri yang belum dijaminan kehalalannya, maka perlu sekali adanya perlindungan bagi kalangan konsumen umat Islam agar tidak terjebak mengkonsumsi produk yang haram. Kalaulah produk makanan dan minuman bisa diberikan label halal, mengapa produk obat-obatan yang diminum atau ditelan tidak diberi sertifikat halal? Padahal pada hakekatnya obat itu adalah makanan dan makanan pun adalah obat. Obat dan makanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu kepastian dan jaminan halalnya produk pangan khususnya obat-obatan di Indonesia yang mayoritas muslim ini, sudah selayaknya diprioritaskan oleh produsen dan diatur oleh pemerintah. Penulis sebagai muslim sekaligus sebagai tenaga medis, secara pribadi sangat mengharapkan sekali dan menantikan hadirnya obat-obatan yang bersertifikat halal atau ada jaminan kehalalannya. Bila hal ini terealisasi maka tidak akan ada lagi keraguan ketika menuliskan resep obat apapun. Semoga saja sertifikasi halal bagi obat-obatan, khususnya jenis obat yang diminum atau ditelan, baik obat resep dokter maupun obat bebas, akan menjadi kenyataan di kelak kemudian hari. Rasulullah Saw bersabda : "Setiap daging (jaringan tubuh) yang tumbuh dari makanan haram, maka api nerakalah baginya." (HR At-Tirmidzi)

Pluralisme Matan Hadist

Pluralisme merupakan istilah yang tidak asing bagi mereka yang terus mengikuti perkembangan pemikiran keagamaan. Istilah tersebut pada mulanya merupakan sebuah faham yang menegaskan bahwa di dunia ini terdapat berbagai macam perbedaan, aneka warna pemahaman dan kehidupan yang sangat beragam. Tentu faham tersebut pada mulanya merupakan faham yang memiliki relevansi dengan realitas kehidupan manusia. "Sesungguhnya Alloh menciptakan manusia itu bersuku-suku dan berngsa-bangsa". Tuhan telah menciptakan keragaman yang luar biasa. Kita bisa saksikan bagaimana Tuhan menciptakan jutaan spesies di langit dan di bumi, kita juga bisa saksikan bagaimana Tuhan telah menciptakan beragam tumbuh-tumbuhan yang menakjubkan. Dalam konteks kemanusiaan, Tuhan juga telah menciptakan manusia dalam berbagai suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang beraneka ragam. Ini semua sebenarnya menjadi pertanda kebesaran Tuhan bagi mereka yang berfikir dan berilmu.



Dalam hadisnya nabi Muhammad Saw bersabda :

َحَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً

“Dari Abu Hurairah ia berkata : “telah bersabda rasullullah SAW. Kaum yahudi telah terpecah menjadi 71 atau 72 golongan dan kaum nasrani telah terpecah menjadi 71atau 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan”
Hadist ini diriwayatkan oleh :

a. Abu Daud : kitabus sunnah, 1 bab syarhus sunnah 4 : 197-198 nomor hadist 4596. dan hadist diatas adalah lafazh abu daud.
b. At-Tirmidzi : kitabul imam, 18 bab ma ja’a fi ‘iftiraqi hadzihil Ummah, nomor 2778 dan ia berkata: Hadist ini hasan shahih.
c. Ibnu Majah : 36 kitabul Fitan, 17bab iftiraqil Umam, nomor 3991
d. Imam Ahmad dalam musnadnya 2: 332 tanpa menyebutkan kata nashara.
e. Al-hakim dalam kitabnya : al-mustadrak: kitabul iman, 1: 6 dan ia berkata: hadist ini banyak sanadnya dan berbicara maslah pokok agama.
f. Ibnu Hibban dalam kitab mawariduzh-zhana’am: 31 kitabul Fitan, 4 bab iftiraqil umam,hal 454 nomor 1834
g. Abu Ya’la Al-Mushiliy dalam kitabnya al-Musnad: Musnad Abu Hurairah.
h. Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab “As-Sunnah”, bab 19, bab Fîmâ Akhbara Bihin Nabiy Anna Ummatahu Sataftariqu, I: 33, hadis nomor 66.
i. Ibnu Baththah Fil Ibânatil Kubrâ: bab Dzikri Iftirâqil Ummah Fî Dînihâ, Wa ’Alâ Kam Tatafarraqal Ummah, I: 228, hadis nomor 252.
j. Al-Âjurriy dalam kitabnya “Asy-Syarî’ah” bab Dzikri Iftirâqil Umam, halaman 15.

Derajat hadist ini hasan, karena ada rawi Azhar bin Abdullah, akan tetapi hadist ini menjadi shahih dengan syawahidnya. Hakim berkata : sanad-sanad hadist (yang banyak) ini harus dijadikan hujjah untuk menshahihkan hadist ini.

Thursday 2 May 2013

Integrasi Nasional

Istilah integrasi nasional berasal dari dua kata yaitu integrasi dan nasional. Istilah integrasi mempunyai arti pembauran/penyatuan sehingga menjadi kesatuan yang utuh / bulat. Istilah nasional mempunyai pengertian kebangsaan, bersifat bangsa sendiri, meliputi suatu bangsa seperti cita-cita nasional, tarian nasional, perusahaan nasional.

Integrasi nasional dapat diartikan penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh, atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa.



Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru. Kita ketahui dengan wilayah dan budaya yang melimpah itu akan menghasilkan karakter atau manusia manusia yang berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.

Faktor-faktor pendorong integrasi nasional sebagai berikut:

1. Faktor sejarah yang menimbulkan rasa senasib dan seperjuangan.

2. Keinginan untuk bersatu di kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.

3. Rasa cinta tanah air di kalangan bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan perjuangan merebut, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.

4. Rasa rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan oleh banyak pahlawan bangsa yang gugur di medan perjuangan.

5. Kesepakatan atau konsensus nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945, bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahasa kesatuan bahasa Indonesia.

 Faktor-faktor penghambat integrasi nasional sebagai berikut:

1. Masyarakat Indonesia yang heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor kesukubangsaan dengan masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah, agama yang dianut, ras dan sebagainya.

2. Wilayah negara yang begitu luas, terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.

3. Besarnya kemungkinan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang merongrong keutuhan, kesatuan dan persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

4. Masih besarnya ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan kedaerahan, demonstrasi dan unjuk rasa.

5. Adanya paham “etnosentrisme” di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan kelebihan-kelebihan budayanya dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain.

6. Lemahnya nilai-nilai budaya bangsa akibat kuatnya pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, baik melewati kontak langsung maupun kontak tidak langsung.

7. Kontak langsung, antara lain melalui unsur-unsur pariwisata, sedangkan kontak tidak langsung, antara lain melalui media cetak (majalah, tabloid), atau media elektronik (televisi, radio, film, internet, telepon seluler yang mempunyai fitur atau fasilitas lengkap).

AKHLAK (dalam Pandangan Tasawuf)

A. Tujuan dan posisi akhlak
Al-Tahawani (w. abad 11 H) peyusun Kasysyaf Istilahat al-Funun. Mendefinisikan ilmu akhlak sebagai ilmu-ilmu perilaku (ulum as-sulum) yakni pengetahuan tentang yang baik dan tidak baik.
Dengan bahasa lain, ilmu ini membahas tentang diri manusia dari segi kecenderungannya, hasratnya, dan beragam potensi yang membuat manusia condong kepada kebaikan atau keburukan. Dia juga membahas perilaku manusia dari segi apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam menghiasi diri dengan keutamaan dan menjauhkan diri dari perilaku buruk dan rendah.

Ini berarti ilmu akhlak memiliki keterkaitan erat dengan kajian-kajian psikologi. Dia merupakan premis-premis yang membantu meluruskan prilaku manusia hingga menjadi pribadi yang baik dan mampu mengontrol keinginannya dalam melakukan segala sesuatu.
Tujuan : Ibnu Miskawah (w. 421 H) dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak menyatakan bahwa tujuan ilmu akhlak ini adalah untuk memperoleh moralitas (khuluq) yang membuat seluruh perbuatan kita terpuji, sehinngga menjadikan diri kita pribadi yang mudah, tanpa sebab dan kesulitan.
Dengan bahasa lain, ilmu ini menurut Ibnu Miskawaih, mengajarkan agar manusia dalam menjalani pelaku yang sangat baik dan santun tanpa ada unsure tertekan atau keberatan. Hal ini terjadi ketika moralitas yang baik menjadi malakah (talenta) yang tertancap kokoh dalam diri hingga menjadi karakter diri.
Posisi : mengenai posisi ilmu akhlak, Ibnu Miskawaih memosisikannya sebagai ilmu yang lebih unggul dari pada disiplin ilmu-ilmu yang lain. Hal ini terjadi karena ia berkaitan dengan manusia yang merupakan entitas manusia. Subtansi manusia adalah subtansi yang paling utama, karena manusia memiliki perilaku istimewa yang tidak dimiliki oleh entitas-entitas yang lain, sehingga manusia merupakan entitas yang paling unggul dialam semesta ini.
Dengan mengingat ilmu ini bertumpu pada visi meluruskan prilaku dan perbuatan manusia, maka ia pun pantas menjadi disiplin ilmu yang paling mulia dan luhur.
Kajian tentang akhlak atau etika dikalangan umat islam pada masa permualaan islam. Hanya terbatas pada upaya memahami akhlak dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Seiring dengan perkembangan zaman kajian akhlak ini pun berkembang semakin luas, terutama setetekah era penerjemahan literature filsafat Yunani. Sejak itu bermunculanlah tokoh-tokoh yang berkonsentrasi mengkaji khasanah klasik Yunani, termasuk teori-teori mengenai akhlak dan bebagai corak serta pola pemikiran.
Diantara tokoh muslim yang konsen di bidang ini adalah al-Farabi, al-Kindi, dan Ibnu Miskawaih dikawasan timur dunia islam serta Ibnu majah dan Ibnu Thufail di belahan barat.
Usaha dan kontribusi yang dicurahkan para filsuf yang berkecimpunng dalam filsafat akhlak dan berbagai corak pemikiran ini, bukan sekedar taqlid (mengekor) pada pendahulu mereka dari kalangan filsuf yunani. Akan tetapi, mereka justru melakukan upaya pembaruan dan memiliki ke-ontetik-an tersendiri dalam cara berfikir. Hal ini tampak jelas jika mendalami karya-karya mereka, terutama kitab Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq karya Ibnu Miskawaih.
Disamping kecenderungan ini muncul pula beragam kajian dalam bidang akhlak dari kalangan kaum sufi yang berpangkal pada upaya penggalian inspirasi dari ‘cahaya wahyu’. Adapun yang paling popular dalam wacana ini adalah kontribusi Imam al-Ghazali, terutama dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, serta al-Suhrawardi penyusun kitab Awarif al-Ma’arif, yang menjelaskan secara elaboratif akhlak kaum sufi dan tata karma mereka yang terinspirasi dari pelita kenabian.

B. Prespektif akhlak menurut filosof Etika barat
Berberpa ahli sejarah filsafat, misalanya Prof. Rabobart, berupaya memaparkan isu-isu penting yang menjadi perhatian para filosof etika barat ini, diantaranya mengenai norma akhlak. Ternyata ada permaslahan yang dihadapi oleh para filosof etika, yaitu masalah norma etika dan otoritas yang dimilikinya. Dengan kata lain, masalah basis etika berhubungan dengan kehendak manusia atau qanun etika beserta kekkuatan obligasi keinginan yang dimilikinya untuk menerjemahkan keinginan ke dalam tata praktis (amal perbuatan).
Dari uraian diatas, dapay diartikan bahwa tujuan norma akhlak menurut filosof etika adalah daya obligatif yang memiliki kekuasaaan supermatif terhadap manusia dan perbuatan yang dilakukannya. Sebab ia mendorongnya untuk melakukan perbuatan tetentu. Dengan kata lain, norma akhlak adalah hubungan antara keinginan manusia dengan perbuatan yang dilakukannya disertai pembatasan hubungan dan jangkauan pengarunya dan prilaku.
Para filosof etika mempunyai pendapat yang beragam dalam permasalahan ini. Sebagian diantara mereka mengajukan teori al-qanun al-dzati, bahwa manusia menyimpan sebuah kekuatann dalam dirinya yang digunakan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, menunjukkannya pada kewajiban, dan mendorongnya untuk melakukannya.
Kata Raborat, bahwa sebagian kalangan menyatakan bahwa norma akhlak ada dalam diri kita sendiri, dan ia merupakan suara bathin yang memandu kita bagaimana membedakan antara kebenaran dan kebathilan. Qanun etika bersumber dari diri kita, dan digodok oleh kekuatan dalam diri kita. Ia menetap dalam relung-relung diri kita, membantu kita mencapai idrak al-wajib (pemahaman mengenai apa yang seharusnya dilakukan). Aturan atau norma akhlak ini memandu kita dalam berbuat dan ia mempunyai dominasi yang kuat atas sumber-sumber kekuasaan lainnya.
Teori ini disebut teori qanun al-dzati, karena mengandaikan adanya Qanun etika (akhlak) dalam tabiat manusia. Sementara sebagian dari kaum filosof etika menganggap suara bathin ini sebagai suara akal sehingga mereka kemudian dikenal dengan sebutan kaum rasionalis (al-‘aqliyyun).
Sebagian diatara pengusung teori al-qanun al-dzati berpendapat bahwa kekuatan terkandung dalam diri manusia dan mempunyai pengaruh kuat terhadap prilakunya tersebut adalah perasaan (al-syu’ur) atau nurani (al-dhamir) yang menimbulkan penderitaan bathin (agony) dalam diri ketika manusia melannggar aturan yang seharusnya.
Prof. Robobart menngatakan bahwa sebagian kalangan lain berpendapat bahwa akal memberikan ruang lapang pada perasaan dan otoritas yang mendorong untuk mematuhi qanun etika tersebut ada dalam diri kita, sebagaimana kata Hume, Schopenhur, adam Smith, dan yang lain. Pusat otoritas ini juga bukan akal, melainkan perasaan. Jadi otoritas qanun etika ini adalah perasaan bathin dalam diri kita, dan perasaan ini berupa penderitaan bathin yang berbeda-beda tingkatannya ketika melanggar aturan yang seharusnya (al-wajib).
Ada teori lain yang disebut kalangan filosof etika dengan nama ‘Teori Norma Eksternal’. Para pengusungnya berpendapat bahwa ada kekuatan eksternal diluar diri manusia yang mendorongnya untuk berbuat dengan otoritas yang dimilikinya terhadap prilakunya. Sebagian diantara mereka mendefinisikan ini sebagai agama. Sementara yang lain mendefinisikannya sebagai hukum konfensional.
Prof. Robobart mengatakan “berkebalikan dengan teori norma personal (al-qanun al-dzati) ada teori eksternal (al-qanun al-khariji). ia meletakkan akhlak dan otoritas luar. Teori ini menyatakan bahwa rasa takut kepada tuhan semesta alam, takut pada makhluk (manusia), dan hasrat memperoleh pahala dari Tuhan dan kebaikan dari manusia, adalah dasar kewajiban-kewajiban moral, dan ia merupakan otoritas yang mendorong seseorang yang menjelaskan perilaku etika (norma) bersumber dari kekuatan eksternal, bukan dari kekuatan dalam diri kita, seperti kehendak tuhan pranata sosial.
Kesimpulannya adalah, kalangan filosof etika barat yang membahas teor-teori mengenai norma akhlak bagi perilaku manusia dan otoritas (pengaruh) yang dimilikinya pada prilaku perbuatan, berkesimpulan bahwa, otoritas tersebut adalah akal, atau perasaan, atau hukum konvensional, atau agama.
C. Prespektif Akhlak menurut para ahli Etika muslim
Sebagian ulama muslim, diantaranya Prof. Mansur Rajab dalam bukunya “Ta’amulat fi falsafah al-akhlaq”, berpendapat bahwa norma akhlak berarti sesuatu yang dijadikan tolak ukur untuk memberikan pernilaian saat terjadi pertentangan antar berbagai pola perilaku bahwa poa ini lebih baik dari pada pola itu.
Pertama-tama ia mengajukan pertanyaan hipotesis, dengan apa kita mengukur akhlak manusia? Kemuadian melansir sejumlah norma (tolak ukur) yang bervariatif sebagai dasaar penilaian. Ia mengatakan “ dengan apa kita menilai perilaku baik-buruk perbutan manusia? Apakah kita mengkur dengan tolak ukur pendapat personal (seorang filosof) ataukah dengan tradisi (pranata sosial)? Ataukah dengan standar hukum, baik dengan hukum konvensional buatan manusia maupun hukum samawi yang turun melalui proses pewahyuan.
Setelah semua itu . Prof. Rajab kemudian menetapkan sebuah kesimpulan penting bahwa pendapat personal para filsuf, tradisi mesyarakat dan hukum konvensional tidak layak dijadikan norma akhlak, sebab standar etika yang valid harus bersifat baku, alias tidak berubah-ubah, dan bersifat umum hingga bisa diterapkan bagi segenap manusia tanpa pandang bulu, tempat dan waktu.
Jelasnya, pendapat kaum filsof hanyalah sekedar pendapat pribadi dan saling mengkritik satu sama lain, sehingga pendapat mereka mengenai etika pun beragam, sebagaimana keragaman wacana yang mereka angkat. Kemudian tradisi yang berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, disamping karena faktor perbedaan waktu. Sementara hukum konvensional merupakan produk hukum manusia yang bisa salah dan bisa benar, dan hukum konvensional itupun beragam, sesuai dengan keragaman visipembuatnya. Oleh karena itu, ketigaya tidak layak dijadikan sebagai norma yang shahih.
Adapun norma akhlak yang shahih adalah agama, sebab ia merupakan wahyu dari tuhan dan dia tentu lebih mengetahui perundang-undangan atau aturan hukum yang tepat dan bermaslahat bagi umat manusia, serta lebih mengerti soal aturan-aturan peribadatan maupun perilaku-perilaku mulia yang bisa menyantunkan diri mereka dan meluruskan akhlak mereka. Dan semua itu berlandaskan prinsip imam dan islam.

D. Akhlak menurut kaum Sufi
1. Perhatian kaum sufi terhadap akhlak
Kaum sufi menaruh perhatian besar terhadap perilaku mulia, sebab mereka sangat antusias untuk meneladani Rasulullah yang diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Al-Suharwardi mengatakan “kaum sufi merupakan golongan manusia yang paling besar bagiannya dalam meneladani Rasulullah dan paling berkewajiban melestarikan sunnah-sunnahnya, serta berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah saw. Beliau bersabda, ‘anakku, bila kita mampu mengarungi pagi dan petang tanpa kecurangan dalam hatimu terhadap siapapun, maka lakukanlah’. Beliau juga bersabda “anakku ini merupakan sunahku. Siapa yang melakukan sunnah tradisiku, berarti ia mencintaiku, dan siapa yang mencintaiku, ia akan bersamaku disurga.(al-Suhrawardi, awarif al-ma’arif).
Jalan tasawuf sebagimana yang diungkapkan seorang sufi awalnya adalah ilmu, ditengahnya adalah amal dan di akhirnya adalah irfan atau penemuan hakikat (tahaqquq). Oleh karena itu, kaum sufi mengawali perilaku perjalanan spiritualnya menuju Allah dengan menggali pengetahuan, utamanya sunnah, kemudian mengamalkan perkara-perkara agama yang telah diketahui dan pelajari. Semua ini menghasilkan komitmen yang menghiasi diri dengan akhlak-akhlak mulia.
Al-Suhrawardi mengatakan. “kaum sufi melestarikan sunnah Rasullah karena di awal perilaku sufisme mereka berdiri tegak mengawal sabda-sabdanya, kemudian meneladani perbuatannya dan puncaknya mereka mengaktualisasikan akhlaknya.”
Jalan sufisme juga bertujuan untuk menyucikan atau membersihkannya dari segala hal yang tercela. Hal ini tidak mengkin terwujud kecuali dengan ketundukan mutlak kepada apa yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya, sambil menerapkan dengan sebaik-baiknya akhlak-akhlak mulia yang diajarkan al-Qur’an dan justru karena itulah Allah memuji Rasul-Nya,
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS, al-Qalam).

2. Posisi Tata Krama (adab) kaum sufi
Akhalak adalah adab, dan adab berarti pengajaran tata-krama lahir dan bathin agar selaras dengan arahan-arahan syariat. Jika bathin seseorang telah terdidik tata-krama dan pengaruhnya telah manifestasikan dalam perilaku lahiriyah, maka ia telah bertasawuf secara hakiki (mutahaqqiq bi al-tashawuf) Al- Suhrawardi mengatakan bahwa Rasullullah pernah bersabda, “Allah telah mengajariku tata karma dan membaguskan pengajaran tata kramaku”
Adab berarti mendidik tata karma lahir dan bathin, dan jika seorang hamba telah telah terdidik tata karma alhir dan bathin, maka ia menjadi seorang sufi yang bertata karma (shufi adib).
Sumber tata karma adalah karakter-kakrakter yang shalih. Karakter-karakter ini di titipkan Allah dalam diri manusia selama beberapa waktu dan manusia dituntut untuk mengeluarkann karakter-karakter shalih yang dititipka Allah di dalam drinya ini ketataran prkatis atau amal perbuatan nyata. Caranya dengan mengontrol perilaku dengan kehendak (iradah) dan usaha (kasb). Jika ia mampu melakukan hal itu, maka ia bisa mengeluarkan apa yang masih dalam tataran potensi ke tataran perbuatan. Kemampuan ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang ter-install karakter shalih di dalam dirinya, sebab karakter-karakter ini merupakan kreasi Allah yang tidak mungkin bisa dibuat manusia; dan tugas manusia adalah mengeluarkannya. Sebagaimana peluru yang diisikan dalam senjata api, yang kemudian dikeluarkan oleh pemegang senjata tersebut dengan menarik pelatuknya, maka tata karma juga bersumber dari karakter-karakter shalih yang merupakan anugerah ilahi di dalam dirinya, yang kemudian dikeluarkan dengan usaha (kasb).
Kadar kemampuan untuk mencapai kebaikn atau jauh dari keburukan berbeda-beda antara satu manusia dengan manusia yang lain sesuai dengan tatanan dalam diri masing-masing. Dalam hal ini kaum sufi telah menyiapkan diri mereka, agar senantiasa menjalankan kebaikan. Merekapun antusian mendidik nafs diri mereka dan mendisiplinkannya melalui perilaku mujahadah dan riyadhah.

3. Adab kaum sufi dalam peribadatan
a. Adab shalat kaum sufi
Dalam maslah shalat, kaum sufi pertama-tama memperhatikan proses belajar atau pencarian pengetahuan mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, dengan memdatangi ulama yang berkaitan dengan shalat dengan mendatangi ulama dan bertanya mengenai hukum yang belum mereka ketahui.
Menurut al-Thusi, “adab kaum sufi dalam shalat dan mempelajari apa saja yang mereka butuhkan adalah belajar ilmu shalat, mempelajari shalat-shalat fardhu, shalat sunnah dan shalat nafilah beserta keutamaannya. Selajutnya mereka sangat antusias menjalankan shalat diawal waktu agar memperoleh keutamaan. Oleh karena itu, mereka sudah bersiap-siap sebelum masuk waktunya, dan mereka meaksanakannya dengan kehadiran hati mereka bersama Allah. Mereka berusaha segenap persaan hati dan pikiran sambil mengosongkan diri dari segala sesuatu selain Allah, agar mereka bisa merenungi kitab-kitab Allah yang mereka baca dan benar-benar khusyuk menghadap Allah.
b. Adab zakat kaum sufi
Dalam menunaikan zakat, bertata karma dengan berusaha mengumpulkan harta yang halal tanpa berorientasi menumpuk numpuk kekayaan, maupun membanggakan kekayaan dan tanpa mengiringi sedekah mereka dengan mengungkit-ungkit pemberian atau menyakiti si penerimanya.
Al-Thusi mengatakan, “barang siapa terkena kewajiban zakat, maka membutuhkan empat hal : Pertama, memperoleh harta dengan cara halal. Kedua, orientasi pengumpulan harta bukan untuk membangga-banggakan diri. Ketiga, mulai dengan keluhuran budi pekerti dan sikap dermawan terhadap keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggunganya. Dan keempat, menjauhi perilaku mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti hati orang yang diberi zakat”.
Status mereka berbeda-beda dalam kaitan kebolehan dan ketidakbolehan menerima zakat. Diantarannya mereka ada yang mencegah diri untuk tidak mengambil zakat, karena khawatir akan merebut atau mengurangi jatah kaum fakir dan mengingat status mereka sebagai kaya diri bersama Allah. Kata al-Thusi, sebagian kaum sufi menerapkan diri dalam masalah zakat dengan tidak makan uaanng zakat, meminta atau mengambilnya. Jika terpaksa memakannya mereka hanya memakan yang halal dan benar, namun mereka juga ingin meninggalkan hal itu demi kepentingan orang fakir.
c. Adab puasa kaum sufi
Dala berpuasa kaum sufi tidak hanya menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seks sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari, akan tetapi mereka juga menahan seluruh anggota badan mereka dari melakukan hal-hal yang bisa mengundang murka Allah.
Kaum sufi berpandangan bahwa tata karma orang berpuasa adalah menjaga anggota badan, membersihkan hati, senantiasa berzikir, menjauhkan diri dari segala syahwat, antusias mencari rezeki yang halal, percaya sepenuhnya dengan rezeki yang di jamin Allah untuk semua makhluk dan merasa takut kepada Allah.
d. Adab haji kaum sufi
Dalam melaksanakan ibadah haji kaum sufi tidak hanya mencukupkan dengan menyucikan diri dari jasad lahiriyah dengan mandi saja, akan tetapi mereka juga memasukkan proses penyucian bathiniyah hati mereka dengan taubat.

E. Akhlak-akhlak kaum sufi
1. Tawadhu’
Salah satu akhlak mulia yang menjadi fokus perhatian kaum sufi adalah tawadhu’. Mereka antusias menerapkan sikap itu pada diri mereka sebagai bentuk peneladanan Rasulullah yang merupakan model utama kaum mukmin. Al-Suhrawardi mengatakan, “ salah satu kebaikan budi pekerti kaum sufi adalah Tawadhu’.
Tawadhu’ mengandung konsekuensi tidak menolak kebenaran dari orang lain apapun itu, kemudian menjalankan kebenaran tersebut. Tawadhu berarti bersedia tunduk pada kebenaran dan mematuhinya, mau menerima, mau mengatakan, dan mau mendengarkannya dari orang lain.
2. Al-mudarah (lemah lembut)
Al-mudarah berarti mengendalikan diri ketika berinteraksi bahkan ketika disakiti orang lain. Dalam hal ini kaum sufi ingin meneladani Rasululah yang diriwayatkan tidak pernah menyakiti seorangpun.
3. Sikap lebih mementingkan orang lain (Altruisme)
Kaum sufi menjalankan prlaku altruism yaitu lebih mengutamakan orang lain dala berinteraksi sosial dengan memberikan pertolongan tanpa pamrih kepada orang lain. Perilaku menurut al-suhrawardi di dorong oleh rasa kasih saying yang begitu besar dalam hati mereka kepada makhluk (manusia) serta keimanan dan keyakinan yang menancap kuat di dada mereka.
4. Pemaaf
Kaum sufi juga menghiasi diri dengan sikap pemaaf, yaitu memaafkan orang yang berbuat jahat terhadap diri mereka. Dalam hal ini mereka terinspirasi oleh rasulullah yang mewartakan bahwa sifat pemaaf termasuk akhlak mulia.
5. Selalu tampil ceria dan berwajah riang
Kaum sufi memiliki perilaku hidup ceria dan berwajah riang di depan orang lain. Saat berkhlawat (menyendiri bersama Allah), mereka menangis sedih dan takut kepada Allah, namun saat berinteraksi dengan banyak orang, keceriaan terpancar di wajah mereka, sebagai buah dari pancaran cahaya.
6. Supel dan ramah
Supel dan ramah berarti tidak merasa tertekan dan berperilaku yang tidak dibuat-buat saat berinteraksi dengan orang lain. Dengan kata lain, mereka berusaha mendekati orang dari hati mereka dengan memegang teguh adab-adab bergaul dan menghindari sikap sinis dan mencemooh orang lain.
7. Qana’ah (menerima apa adanya)
Sikap qana’ah membebaskan pelakunya dari cengkraman kecemasan dan memberinya kecemasan psikologis ketika bergaul dengan orang lain.
8. Tidak suka berdebat
Kaum sufi tidak suka berdebat atau berbantah-bantahan. Mereka menghindari diskusi untuk menunjukkan keunggulan dirinya, kecuali mereka berbicara hanya untuk menunjukkan kebenaran. Merekapun tidak mudah tersulut emosinya, kecuali jika kesucian Allah dilanggar.
F. Adab kaum sufi dalam bersahabat dan bersaudara
Al-suhrawardi mengatakan “sekelompok kaum salaf menggemari persahabatan dan persaudaraan demi Allah. Mereka berpandangan bahwa Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman (ahlul iman) dengan menjadikan mereka bersaudara.
Adapun persahabatan yang mewujudkan kebahagiaan bagi semua adalah, persahabatan yang dibangun atas fondasi-fondasi keluhuran akhlak yang kokoh, seperti kasih saying, tepat janji dan altruism. Al-Qur’an mengatakan, persahabatan ada 3 macam yaitu :
1. Persahabatan dengan orang yang statusnya di atasmu. Persahabatan ini sebenarnya merupakan sebuah khidmat (pelayanan)
2. Persahabatan dengan orang-orang yang statusnya dibawahmu. Persahabatan ini meniscayakan sikap belas kasih dan empati terhadap bawahan, dan mengandalkan komitmen hormat dan persetujuan terhadap atasan.
3. Persahabatan dengan orang-orang yang se level. Persahabatan ini dibangun di atas prinsip altruism dan ksatria (al-futuwah)

Sumber :

Moenir Nahrowi Thohir. 2012.  Menjelajahi eksistensi tasawuf (meniti jalan menuju tuhan). Jakarta Selatan.  PT. As-salam sejahtera

 
Design Downloaded from Photoshop Patterns | Free Backgrounds