A.
Hidup dan karnyanya
a)
biografi
Ibnu rusyd
Ia adalah abul walid
Muhammad Bin Ahmad ibn Rusyd, kelahiran Kordoba pada tahun 502 H. dalam sejarah
Andalusia Ibnu rusyd mengayam pendidikan bahasa arab, fiqih, kalam, dan
kedokteran dari sejumlah guru hingga berusia 40 tahun, pada saat itulah, ibn
Rusyd diperkenalkan kepada khalifah Abu Ya’qub Yusuf (al-Mansur) yang mempunyai
minat besar terhadap karnya-karnya aristoteles, demikian penuturan ibn Thufail,
dokter dan penasehat khalifah tersebut.
Setelah perkenalan itu, sang khlifah memerintahkan ibn Rusyd untuk
menjelaskan kepadanya karya-karya aristoteles yang di pandangnya cukup pelik.
Dalam hal itu pula, ibn Rusyd diangkatnya sebagai Hakim agama (Qadhy) di
Seville pada tahun 1169. Pada tahun 1171, ibn Rusyd ditunjuk sebagai kepala
Hakim di kordoba, dan pada tahun 1189, ditunjuk sebagai dokter istana Marakesh.
Ketika Al-Mansur itu menggantikan ayahnya pada tahun 1189, dukungan
lembaga kekhalifahan pada ibnu rusyd terus berlanjut, namun akibat tekanan
publik yang menguat nasib Ibn Rusyd kemudian berubah derastis, Mula-mula dia
dibuang ke lucena, di kepulauan atlantik, pada tahun 1195. Lalu buku-bukunya
dibakar di depan umum, dan ajaran-ajarannya tentang filsafat dan sains, kecuali
kedokteran dan astronomi, dilarang disebarkan.[1]
Pengasingan ibnu rusyd, untungya, tidak berlanjut lama. Khalifah
segera”berdamai dengannya dan mengizinkan untuk melanjutkan study
filsafat, pada tahun 1198 Ibnu Rusyd
wafat pada usia 72 tahun.
b)
Karyanya
Ibnu rusyd adalah ulama besar dan pengulas yang dalam filsafat Aristotales.
Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingnya, karena menurut riwayat,
sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah terputus membaca dan menela’ah kitab,
kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.[2]
Karangannya meliputi berbagai ilmu, seperti: fiqih, usul, bahasa,
kedokteran, astronmi, politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh
ribu lembar yang telah ditulisnya. buku-bukunya adakalanya karangan sendiri
atau mengulas dan meringkas filsafat Aristotales. Buku buku lain yang telah
diulasnnya ialah buku karangan Plato, Iskandar Aprodisias, Plotinus, Geralinus,
al-Farabi, ibnu sina, Al-ghazali, dan ibnu bajah, buku-buku yang penting
diantaranya adalah:
1.
Bidayatul
Mujtahid,ilmu fiqih, buku ini bernilai tinggi,
kerena berisi tentan perbandingan mazhabi(aliran-aliran) dalam fiqih dengan
menyebutkan alasannya masinng-masing.
2.
Faslul
Maqal fi ma baina al-hikmati was Syari’at min al-ilttisal (ilmu kalam). Buku ini bermaksud untuk menunjukkan adanya
penyesuaian antara filsafat dan syariat, dan sudah perna diterjemahkan kedalam
bahasa jerman pada tahun 1895 M oleh
Muller, orientalis asal jerman.
3.
Manahij
Al-adilah fil Aqaidi Ahl al-Millah(ilmu
kalam) buku ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan
kelemahan-kelemahannya.
4.
Tahafut
at-tahafut, suatu buku yang
terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam, dan dimaksudkan untuk memela
filsafat dari serangan Al-ghazali dalam bukunya tahafut al Falasifah.[3]
Ibnu rusyd menolak menolak serangan al-ghazali terhadap filsafat,
seraya mengatakan atas dua orang penafsir filsafat Aristotales yang dijadikan
bulan-bulanan Al-Ghazali, yakni Al-Farabi dan ibn Sina. Dalam dua karnya
lainnya ibnu rusyd menyerang teologi Al-Asy’ari. Isu paling krusial yang
dibahas dalam kedua karya terakhir itu adalah ihwal hubungan filsafat dan agama.
Bagi al-kindi Filsafat dan agama saling bersesuaian satu sama lain, sedangkan
bagi Al-Farabi ataupun ibn Sina dalam beberapa hal saja keduanya selaras. Akan
tetapi bagi Al-Ghazali pertentangan antara agama tidaklah dapat didamaikan.[4]
B.
Pemikran Ibnu Rusyd
ibnu rusyd sebagai orang yang menyakini apa yang kia sebut “paritas
kebenaran” menyatakan bahwa perbedaan antara agama dan filsafat sesungguhnya
masih bias didamaikan apabila pertama-tama kita mau mematuhi ketentuan
Al-Qur’an (QS Ali Imran (3) :7) yang dengan jelas membedakan antara ayat-ayat muhk[5]amat
dan ayat mutasyabihat.
Bagi ibn Rusyd, semua kontroversi yang melibatkan para teolog dan
filosof pada hakikatnya bermula dari ayat-ayat yang bermakna taksa(mutasyabihat).
Kaum awam secara umum berpegang pada arti tersurat ayat-ayat tersebut. Kaum
Asy’ariah mencoba menafsirkan abgiguitas ayat-ayat tersebut juga secara apa
adanya, yang tidak jauh berbeda dari arti tersuratnya. Yang demikian ini, pada
gilirannya, berimplikasi pada teori bi
la kaifa atau agnotisme[6]
komparatif.
[1]
Majid fakhry,
sejarah filsafat islam, mizan, hal 107-108
[2]
Ahmad hanafi ma, penngantar filsafat islam, PT bulan bintang, jakarta
[3]
Ibid
[4]
Majid fakhry,
sejarah filsafat islam, mizan, hal 108
[5]
Muhkamat:
ayat
tegas yang terkandung hukumnya. Sedangkan mutasabihat : yang bemakna taksa atau ambigu
0 komentar:
Post a Comment