A. Tujuan dan posisi akhlak
Al-Tahawani (w. abad 11 H) peyusun Kasysyaf Istilahat al-Funun. Mendefinisikan ilmu akhlak sebagai ilmu-ilmu perilaku (ulum as-sulum) yakni pengetahuan tentang yang baik dan tidak baik.
Dengan bahasa lain, ilmu ini membahas tentang diri manusia dari segi kecenderungannya, hasratnya, dan beragam potensi yang membuat manusia condong kepada kebaikan atau keburukan. Dia juga membahas perilaku manusia dari segi apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam menghiasi diri dengan keutamaan dan menjauhkan diri dari perilaku buruk dan rendah.
Ini berarti ilmu akhlak memiliki keterkaitan erat dengan kajian-kajian psikologi. Dia merupakan premis-premis yang membantu meluruskan prilaku manusia hingga menjadi pribadi yang baik dan mampu mengontrol keinginannya dalam melakukan segala sesuatu.
Tujuan : Ibnu Miskawah (w. 421 H) dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak menyatakan bahwa tujuan ilmu akhlak ini adalah untuk memperoleh moralitas (khuluq) yang membuat seluruh perbuatan kita terpuji, sehinngga menjadikan diri kita pribadi yang mudah, tanpa sebab dan kesulitan.
Dengan bahasa lain, ilmu ini menurut Ibnu Miskawaih, mengajarkan agar manusia dalam menjalani pelaku yang sangat baik dan santun tanpa ada unsure tertekan atau keberatan. Hal ini terjadi ketika moralitas yang baik menjadi malakah (talenta) yang tertancap kokoh dalam diri hingga menjadi karakter diri.
Posisi : mengenai posisi ilmu akhlak, Ibnu Miskawaih memosisikannya sebagai ilmu yang lebih unggul dari pada disiplin ilmu-ilmu yang lain. Hal ini terjadi karena ia berkaitan dengan manusia yang merupakan entitas manusia. Subtansi manusia adalah subtansi yang paling utama, karena manusia memiliki perilaku istimewa yang tidak dimiliki oleh entitas-entitas yang lain, sehingga manusia merupakan entitas yang paling unggul dialam semesta ini.
Dengan mengingat ilmu ini bertumpu pada visi meluruskan prilaku dan perbuatan manusia, maka ia pun pantas menjadi disiplin ilmu yang paling mulia dan luhur.
Kajian tentang akhlak atau etika dikalangan umat islam pada masa permualaan islam. Hanya terbatas pada upaya memahami akhlak dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Seiring dengan perkembangan zaman kajian akhlak ini pun berkembang semakin luas, terutama setetekah era penerjemahan literature filsafat Yunani. Sejak itu bermunculanlah tokoh-tokoh yang berkonsentrasi mengkaji khasanah klasik Yunani, termasuk teori-teori mengenai akhlak dan bebagai corak serta pola pemikiran.
Diantara tokoh muslim yang konsen di bidang ini adalah al-Farabi, al-Kindi, dan Ibnu Miskawaih dikawasan timur dunia islam serta Ibnu majah dan Ibnu Thufail di belahan barat.
Usaha dan kontribusi yang dicurahkan para filsuf yang berkecimpunng dalam filsafat akhlak dan berbagai corak pemikiran ini, bukan sekedar taqlid (mengekor) pada pendahulu mereka dari kalangan filsuf yunani. Akan tetapi, mereka justru melakukan upaya pembaruan dan memiliki ke-ontetik-an tersendiri dalam cara berfikir. Hal ini tampak jelas jika mendalami karya-karya mereka, terutama kitab Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq karya Ibnu Miskawaih.
Disamping kecenderungan ini muncul pula beragam kajian dalam bidang akhlak dari kalangan kaum sufi yang berpangkal pada upaya penggalian inspirasi dari ‘cahaya wahyu’. Adapun yang paling popular dalam wacana ini adalah kontribusi Imam al-Ghazali, terutama dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, serta al-Suhrawardi penyusun kitab Awarif al-Ma’arif, yang menjelaskan secara elaboratif akhlak kaum sufi dan tata karma mereka yang terinspirasi dari pelita kenabian.
B. Prespektif akhlak menurut filosof Etika barat
Berberpa ahli sejarah filsafat, misalanya Prof. Rabobart, berupaya memaparkan isu-isu penting yang menjadi perhatian para filosof etika barat ini, diantaranya mengenai norma akhlak. Ternyata ada permaslahan yang dihadapi oleh para filosof etika, yaitu masalah norma etika dan otoritas yang dimilikinya. Dengan kata lain, masalah basis etika berhubungan dengan kehendak manusia atau qanun etika beserta kekkuatan obligasi keinginan yang dimilikinya untuk menerjemahkan keinginan ke dalam tata praktis (amal perbuatan).
Dari uraian diatas, dapay diartikan bahwa tujuan norma akhlak menurut filosof etika adalah daya obligatif yang memiliki kekuasaaan supermatif terhadap manusia dan perbuatan yang dilakukannya. Sebab ia mendorongnya untuk melakukan perbuatan tetentu. Dengan kata lain, norma akhlak adalah hubungan antara keinginan manusia dengan perbuatan yang dilakukannya disertai pembatasan hubungan dan jangkauan pengarunya dan prilaku.
Para filosof etika mempunyai pendapat yang beragam dalam permasalahan ini. Sebagian diantara mereka mengajukan teori al-qanun al-dzati, bahwa manusia menyimpan sebuah kekuatann dalam dirinya yang digunakan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, menunjukkannya pada kewajiban, dan mendorongnya untuk melakukannya.
Kata Raborat, bahwa sebagian kalangan menyatakan bahwa norma akhlak ada dalam diri kita sendiri, dan ia merupakan suara bathin yang memandu kita bagaimana membedakan antara kebenaran dan kebathilan. Qanun etika bersumber dari diri kita, dan digodok oleh kekuatan dalam diri kita. Ia menetap dalam relung-relung diri kita, membantu kita mencapai idrak al-wajib (pemahaman mengenai apa yang seharusnya dilakukan). Aturan atau norma akhlak ini memandu kita dalam berbuat dan ia mempunyai dominasi yang kuat atas sumber-sumber kekuasaan lainnya.
Teori ini disebut teori qanun al-dzati, karena mengandaikan adanya Qanun etika (akhlak) dalam tabiat manusia. Sementara sebagian dari kaum filosof etika menganggap suara bathin ini sebagai suara akal sehingga mereka kemudian dikenal dengan sebutan kaum rasionalis (al-‘aqliyyun).
Sebagian diatara pengusung teori al-qanun al-dzati berpendapat bahwa kekuatan terkandung dalam diri manusia dan mempunyai pengaruh kuat terhadap prilakunya tersebut adalah perasaan (al-syu’ur) atau nurani (al-dhamir) yang menimbulkan penderitaan bathin (agony) dalam diri ketika manusia melannggar aturan yang seharusnya.
Prof. Robobart menngatakan bahwa sebagian kalangan lain berpendapat bahwa akal memberikan ruang lapang pada perasaan dan otoritas yang mendorong untuk mematuhi qanun etika tersebut ada dalam diri kita, sebagaimana kata Hume, Schopenhur, adam Smith, dan yang lain. Pusat otoritas ini juga bukan akal, melainkan perasaan. Jadi otoritas qanun etika ini adalah perasaan bathin dalam diri kita, dan perasaan ini berupa penderitaan bathin yang berbeda-beda tingkatannya ketika melanggar aturan yang seharusnya (al-wajib).
Ada teori lain yang disebut kalangan filosof etika dengan nama ‘Teori Norma Eksternal’. Para pengusungnya berpendapat bahwa ada kekuatan eksternal diluar diri manusia yang mendorongnya untuk berbuat dengan otoritas yang dimilikinya terhadap prilakunya. Sebagian diantara mereka mendefinisikan ini sebagai agama. Sementara yang lain mendefinisikannya sebagai hukum konfensional.
Prof. Robobart mengatakan “berkebalikan dengan teori norma personal (al-qanun al-dzati) ada teori eksternal (al-qanun al-khariji). ia meletakkan akhlak dan otoritas luar. Teori ini menyatakan bahwa rasa takut kepada tuhan semesta alam, takut pada makhluk (manusia), dan hasrat memperoleh pahala dari Tuhan dan kebaikan dari manusia, adalah dasar kewajiban-kewajiban moral, dan ia merupakan otoritas yang mendorong seseorang yang menjelaskan perilaku etika (norma) bersumber dari kekuatan eksternal, bukan dari kekuatan dalam diri kita, seperti kehendak tuhan pranata sosial.
Kesimpulannya adalah, kalangan filosof etika barat yang membahas teor-teori mengenai norma akhlak bagi perilaku manusia dan otoritas (pengaruh) yang dimilikinya pada prilaku perbuatan, berkesimpulan bahwa, otoritas tersebut adalah akal, atau perasaan, atau hukum konvensional, atau agama.
C. Prespektif Akhlak menurut para ahli Etika muslim
Sebagian ulama muslim, diantaranya Prof. Mansur Rajab dalam bukunya “Ta’amulat fi falsafah al-akhlaq”, berpendapat bahwa norma akhlak berarti sesuatu yang dijadikan tolak ukur untuk memberikan pernilaian saat terjadi pertentangan antar berbagai pola perilaku bahwa poa ini lebih baik dari pada pola itu.
Pertama-tama ia mengajukan pertanyaan hipotesis, dengan apa kita mengukur akhlak manusia? Kemuadian melansir sejumlah norma (tolak ukur) yang bervariatif sebagai dasaar penilaian. Ia mengatakan “ dengan apa kita menilai perilaku baik-buruk perbutan manusia? Apakah kita mengkur dengan tolak ukur pendapat personal (seorang filosof) ataukah dengan tradisi (pranata sosial)? Ataukah dengan standar hukum, baik dengan hukum konvensional buatan manusia maupun hukum samawi yang turun melalui proses pewahyuan.
Setelah semua itu . Prof. Rajab kemudian menetapkan sebuah kesimpulan penting bahwa pendapat personal para filsuf, tradisi mesyarakat dan hukum konvensional tidak layak dijadikan norma akhlak, sebab standar etika yang valid harus bersifat baku, alias tidak berubah-ubah, dan bersifat umum hingga bisa diterapkan bagi segenap manusia tanpa pandang bulu, tempat dan waktu.
Jelasnya, pendapat kaum filsof hanyalah sekedar pendapat pribadi dan saling mengkritik satu sama lain, sehingga pendapat mereka mengenai etika pun beragam, sebagaimana keragaman wacana yang mereka angkat. Kemudian tradisi yang berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, disamping karena faktor perbedaan waktu. Sementara hukum konvensional merupakan produk hukum manusia yang bisa salah dan bisa benar, dan hukum konvensional itupun beragam, sesuai dengan keragaman visipembuatnya. Oleh karena itu, ketigaya tidak layak dijadikan sebagai norma yang shahih.
Adapun norma akhlak yang shahih adalah agama, sebab ia merupakan wahyu dari tuhan dan dia tentu lebih mengetahui perundang-undangan atau aturan hukum yang tepat dan bermaslahat bagi umat manusia, serta lebih mengerti soal aturan-aturan peribadatan maupun perilaku-perilaku mulia yang bisa menyantunkan diri mereka dan meluruskan akhlak mereka. Dan semua itu berlandaskan prinsip imam dan islam.
D. Akhlak menurut kaum Sufi
1. Perhatian kaum sufi terhadap akhlak
Kaum sufi menaruh perhatian besar terhadap perilaku mulia, sebab mereka sangat antusias untuk meneladani Rasulullah yang diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Al-Suharwardi mengatakan “kaum sufi merupakan golongan manusia yang paling besar bagiannya dalam meneladani Rasulullah dan paling berkewajiban melestarikan sunnah-sunnahnya, serta berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah saw. Beliau bersabda, ‘anakku, bila kita mampu mengarungi pagi dan petang tanpa kecurangan dalam hatimu terhadap siapapun, maka lakukanlah’. Beliau juga bersabda “anakku ini merupakan sunahku. Siapa yang melakukan sunnah tradisiku, berarti ia mencintaiku, dan siapa yang mencintaiku, ia akan bersamaku disurga.(al-Suhrawardi, awarif al-ma’arif).
Jalan tasawuf sebagimana yang diungkapkan seorang sufi awalnya adalah ilmu, ditengahnya adalah amal dan di akhirnya adalah irfan atau penemuan hakikat (tahaqquq). Oleh karena itu, kaum sufi mengawali perilaku perjalanan spiritualnya menuju Allah dengan menggali pengetahuan, utamanya sunnah, kemudian mengamalkan perkara-perkara agama yang telah diketahui dan pelajari. Semua ini menghasilkan komitmen yang menghiasi diri dengan akhlak-akhlak mulia.
Al-Suhrawardi mengatakan. “kaum sufi melestarikan sunnah Rasullah karena di awal perilaku sufisme mereka berdiri tegak mengawal sabda-sabdanya, kemudian meneladani perbuatannya dan puncaknya mereka mengaktualisasikan akhlaknya.”
Jalan sufisme juga bertujuan untuk menyucikan atau membersihkannya dari segala hal yang tercela. Hal ini tidak mengkin terwujud kecuali dengan ketundukan mutlak kepada apa yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya, sambil menerapkan dengan sebaik-baiknya akhlak-akhlak mulia yang diajarkan al-Qur’an dan justru karena itulah Allah memuji Rasul-Nya,
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS, al-Qalam).
2. Posisi Tata Krama (adab) kaum sufi
Akhalak adalah adab, dan adab berarti pengajaran tata-krama lahir dan bathin agar selaras dengan arahan-arahan syariat. Jika bathin seseorang telah terdidik tata-krama dan pengaruhnya telah manifestasikan dalam perilaku lahiriyah, maka ia telah bertasawuf secara hakiki (mutahaqqiq bi al-tashawuf) Al- Suhrawardi mengatakan bahwa Rasullullah pernah bersabda, “Allah telah mengajariku tata karma dan membaguskan pengajaran tata kramaku”
Adab berarti mendidik tata karma lahir dan bathin, dan jika seorang hamba telah telah terdidik tata karma alhir dan bathin, maka ia menjadi seorang sufi yang bertata karma (shufi adib).
Sumber tata karma adalah karakter-kakrakter yang shalih. Karakter-karakter ini di titipkan Allah dalam diri manusia selama beberapa waktu dan manusia dituntut untuk mengeluarkann karakter-karakter shalih yang dititipka Allah di dalam drinya ini ketataran prkatis atau amal perbuatan nyata. Caranya dengan mengontrol perilaku dengan kehendak (iradah) dan usaha (kasb). Jika ia mampu melakukan hal itu, maka ia bisa mengeluarkan apa yang masih dalam tataran potensi ke tataran perbuatan. Kemampuan ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang ter-install karakter shalih di dalam dirinya, sebab karakter-karakter ini merupakan kreasi Allah yang tidak mungkin bisa dibuat manusia; dan tugas manusia adalah mengeluarkannya. Sebagaimana peluru yang diisikan dalam senjata api, yang kemudian dikeluarkan oleh pemegang senjata tersebut dengan menarik pelatuknya, maka tata karma juga bersumber dari karakter-karakter shalih yang merupakan anugerah ilahi di dalam dirinya, yang kemudian dikeluarkan dengan usaha (kasb).
Kadar kemampuan untuk mencapai kebaikn atau jauh dari keburukan berbeda-beda antara satu manusia dengan manusia yang lain sesuai dengan tatanan dalam diri masing-masing. Dalam hal ini kaum sufi telah menyiapkan diri mereka, agar senantiasa menjalankan kebaikan. Merekapun antusian mendidik nafs diri mereka dan mendisiplinkannya melalui perilaku mujahadah dan riyadhah.
3. Adab kaum sufi dalam peribadatan
a. Adab shalat kaum sufi
Dalam maslah shalat, kaum sufi pertama-tama memperhatikan proses belajar atau pencarian pengetahuan mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, dengan memdatangi ulama yang berkaitan dengan shalat dengan mendatangi ulama dan bertanya mengenai hukum yang belum mereka ketahui.
Menurut al-Thusi, “adab kaum sufi dalam shalat dan mempelajari apa saja yang mereka butuhkan adalah belajar ilmu shalat, mempelajari shalat-shalat fardhu, shalat sunnah dan shalat nafilah beserta keutamaannya. Selajutnya mereka sangat antusias menjalankan shalat diawal waktu agar memperoleh keutamaan. Oleh karena itu, mereka sudah bersiap-siap sebelum masuk waktunya, dan mereka meaksanakannya dengan kehadiran hati mereka bersama Allah. Mereka berusaha segenap persaan hati dan pikiran sambil mengosongkan diri dari segala sesuatu selain Allah, agar mereka bisa merenungi kitab-kitab Allah yang mereka baca dan benar-benar khusyuk menghadap Allah.
b. Adab zakat kaum sufi
Dalam menunaikan zakat, bertata karma dengan berusaha mengumpulkan harta yang halal tanpa berorientasi menumpuk numpuk kekayaan, maupun membanggakan kekayaan dan tanpa mengiringi sedekah mereka dengan mengungkit-ungkit pemberian atau menyakiti si penerimanya.
Al-Thusi mengatakan, “barang siapa terkena kewajiban zakat, maka membutuhkan empat hal : Pertama, memperoleh harta dengan cara halal. Kedua, orientasi pengumpulan harta bukan untuk membangga-banggakan diri. Ketiga, mulai dengan keluhuran budi pekerti dan sikap dermawan terhadap keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggunganya. Dan keempat, menjauhi perilaku mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti hati orang yang diberi zakat”.
Status mereka berbeda-beda dalam kaitan kebolehan dan ketidakbolehan menerima zakat. Diantarannya mereka ada yang mencegah diri untuk tidak mengambil zakat, karena khawatir akan merebut atau mengurangi jatah kaum fakir dan mengingat status mereka sebagai kaya diri bersama Allah. Kata al-Thusi, sebagian kaum sufi menerapkan diri dalam masalah zakat dengan tidak makan uaanng zakat, meminta atau mengambilnya. Jika terpaksa memakannya mereka hanya memakan yang halal dan benar, namun mereka juga ingin meninggalkan hal itu demi kepentingan orang fakir.
c. Adab puasa kaum sufi
Dala berpuasa kaum sufi tidak hanya menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seks sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari, akan tetapi mereka juga menahan seluruh anggota badan mereka dari melakukan hal-hal yang bisa mengundang murka Allah.
Kaum sufi berpandangan bahwa tata karma orang berpuasa adalah menjaga anggota badan, membersihkan hati, senantiasa berzikir, menjauhkan diri dari segala syahwat, antusias mencari rezeki yang halal, percaya sepenuhnya dengan rezeki yang di jamin Allah untuk semua makhluk dan merasa takut kepada Allah.
d. Adab haji kaum sufi
Dalam melaksanakan ibadah haji kaum sufi tidak hanya mencukupkan dengan menyucikan diri dari jasad lahiriyah dengan mandi saja, akan tetapi mereka juga memasukkan proses penyucian bathiniyah hati mereka dengan taubat.
E. Akhlak-akhlak kaum sufi
1. Tawadhu’
Salah satu akhlak mulia yang menjadi fokus perhatian kaum sufi adalah tawadhu’. Mereka antusias menerapkan sikap itu pada diri mereka sebagai bentuk peneladanan Rasulullah yang merupakan model utama kaum mukmin. Al-Suhrawardi mengatakan, “ salah satu kebaikan budi pekerti kaum sufi adalah Tawadhu’.
Tawadhu’ mengandung konsekuensi tidak menolak kebenaran dari orang lain apapun itu, kemudian menjalankan kebenaran tersebut. Tawadhu berarti bersedia tunduk pada kebenaran dan mematuhinya, mau menerima, mau mengatakan, dan mau mendengarkannya dari orang lain.
2. Al-mudarah (lemah lembut)
Al-mudarah berarti mengendalikan diri ketika berinteraksi bahkan ketika disakiti orang lain. Dalam hal ini kaum sufi ingin meneladani Rasululah yang diriwayatkan tidak pernah menyakiti seorangpun.
3. Sikap lebih mementingkan orang lain (Altruisme)
Kaum sufi menjalankan prlaku altruism yaitu lebih mengutamakan orang lain dala berinteraksi sosial dengan memberikan pertolongan tanpa pamrih kepada orang lain. Perilaku menurut al-suhrawardi di dorong oleh rasa kasih saying yang begitu besar dalam hati mereka kepada makhluk (manusia) serta keimanan dan keyakinan yang menancap kuat di dada mereka.
4. Pemaaf
Kaum sufi juga menghiasi diri dengan sikap pemaaf, yaitu memaafkan orang yang berbuat jahat terhadap diri mereka. Dalam hal ini mereka terinspirasi oleh rasulullah yang mewartakan bahwa sifat pemaaf termasuk akhlak mulia.
5. Selalu tampil ceria dan berwajah riang
Kaum sufi memiliki perilaku hidup ceria dan berwajah riang di depan orang lain. Saat berkhlawat (menyendiri bersama Allah), mereka menangis sedih dan takut kepada Allah, namun saat berinteraksi dengan banyak orang, keceriaan terpancar di wajah mereka, sebagai buah dari pancaran cahaya.
6. Supel dan ramah
Supel dan ramah berarti tidak merasa tertekan dan berperilaku yang tidak dibuat-buat saat berinteraksi dengan orang lain. Dengan kata lain, mereka berusaha mendekati orang dari hati mereka dengan memegang teguh adab-adab bergaul dan menghindari sikap sinis dan mencemooh orang lain.
7. Qana’ah (menerima apa adanya)
Sikap qana’ah membebaskan pelakunya dari cengkraman kecemasan dan memberinya kecemasan psikologis ketika bergaul dengan orang lain.
8. Tidak suka berdebat
Kaum sufi tidak suka berdebat atau berbantah-bantahan. Mereka menghindari diskusi untuk menunjukkan keunggulan dirinya, kecuali mereka berbicara hanya untuk menunjukkan kebenaran. Merekapun tidak mudah tersulut emosinya, kecuali jika kesucian Allah dilanggar.
F. Adab kaum sufi dalam bersahabat dan bersaudara
Al-suhrawardi mengatakan “sekelompok kaum salaf menggemari persahabatan dan persaudaraan demi Allah. Mereka berpandangan bahwa Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman (ahlul iman) dengan menjadikan mereka bersaudara.
Adapun persahabatan yang mewujudkan kebahagiaan bagi semua adalah, persahabatan yang dibangun atas fondasi-fondasi keluhuran akhlak yang kokoh, seperti kasih saying, tepat janji dan altruism. Al-Qur’an mengatakan, persahabatan ada 3 macam yaitu :
1. Persahabatan dengan orang yang statusnya di atasmu. Persahabatan ini sebenarnya merupakan sebuah khidmat (pelayanan)
2. Persahabatan dengan orang-orang yang statusnya dibawahmu. Persahabatan ini meniscayakan sikap belas kasih dan empati terhadap bawahan, dan mengandalkan komitmen hormat dan persetujuan terhadap atasan.
3. Persahabatan dengan orang-orang yang se level. Persahabatan ini dibangun di atas prinsip altruism dan ksatria (al-futuwah)
Sumber :
Moenir Nahrowi Thohir. 2012. Menjelajahi eksistensi tasawuf (meniti jalan menuju tuhan). Jakarta Selatan. PT. As-salam sejahtera
itu kurang footnot itu wkwk
ReplyDelete