Ulil Blog

Selamat datang, semoga bermanfa'at.

Ulil Blog

Selamat datang, Semoga bermanfa'at.

Ulil Blog

Selamat datang, Semoga Bermanfa'at.

Ulil Blog

Selamat datang, Semoga bermanfa'at.

Ulil Blog

Selamat datang, semoga bermanfaat.

Tuesday, 30 April 2013

Peran Guru

Pandangan stereotip mengenai guru adalah orang yang berpengatahuan yang menyebarkan informasi pada sekelompok orang yang lapar akan pengetahuan. Kelompok tersebut sering kali dipandang sebagai orang yang pasif, dan aktifitas utamanya dalam lingkungan pembelajaran membutuhkan adanya seorang guru yang menjelaskan atau menceritakan pada siswa apa belum mereka ketahui. Namun, banyak pendidik setuju bahwa pandangan ini terlalu sempit dan aktifitas “menjelaskan” tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak strategi yang dapat diterapan oleh guru. Untuk mengawali kajian kata mangenai peran-peran berbeda yang dimainkan oleh guru diantaranya:


1. Mendorong pertumbuhan dan prestasi
Dalam sekenario pengajaran, beberapa peran guru yang telah dijalankan ibu warner, dan peran-peran tersebut sering kali dijumpai dalam bentuk dualisme yang saling berlawanan. Contoh dengan mengadakan pusat-pusat pembelajaran interaktif, ibu warner berharap dapat mendorong pertumbuhan sosial dan emaosiaonala pada siswa, sementara strategi pengajaran yang dia jalankan untuk memfasilitasi pemahaman-pemahamman siswa mengenai makanan-makanan yang sehat dan tidak sehat mendorong perolehan dan internalisasi pengetahuan. Sehingga dalam aktifitas yang khusus ini, ibu warner memiliki dua tujuan pengembangan pertumbuhan sosial dan emosional, dan perolehan pengetahuan.
Intelektual siswa merupakan tujuan-tujuan utama yang hahrus dicapai oleh seorang guru sebagai salah satu peran terpenting mereka sebagai pendidik professional. Secara sosial, ibu warner meminta pada siswa untuk saling berinteraksi di pusat-pusat pembelajarannya, yang didalamnya siswa berkerja sama untuk menyelesaikan bagan/diagram mereka. Sedangkan pusat dimana ibu warner berpartisipasi ngan siswanya difokuskan pada aktivitas-akativitas kognitif. Dualisme disini dan didalam aspek-aspek pengajarannya lain bukan sekedar situasi, tetapi merupakan prioritas.
Pertanyaan umum yang dihadapi oleh seorang guru adalah, komponen pertumbuhan siswa apa yang merupakan tujuan terpenting yang harus dicapai dalam institusi-institusi sekolah umum? Apakah pertumbuhan intelektual-intelektual atau pertumbuhan akademik atau pertumbuhan emosional sosial? Selain dijelaskan dalam bentuk-bentuk apa yang seharusnya juga didasarkan pada gudang pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk meningkatkan peradaban, atau seharusnya pengajaran kita fokus dalam membantu siswa dalam berinteraksi secara lebih baik lagi dengan teman-teman mereka untuk meningkatakan harga diri dan prestasi akademik dan menyediakan untuk menngembangkan pertemanan
Peran utama seorang guru adalah memfasilitasi pembelajaran siswa, yang secara luas dijabarkan, dengan berbagai cara. Hal ini kemudian melahirkan suatu pernyataan fundamental: bagaimana kita belajar? Kita belajar dengan cara berbeda-beda, mulai dari pembelajaran eksperiential (pembelajaran berbasis pengalaman).
2. Kontruktivisme dalam kelas
Meskipun pandangan radikal mengenai kontruksisvisme ini begitu deapresiasi oleh para akademisi, pandangan tersebut seringkali gagal menerjemahkan atau menerapkan realitas-realitas praktis yang dapat dihadapi guru dalam ruang kelas saat ini. Meskipun banyak bukti mengidikasikan bahwa para pembelajar sesungguhnya membangun pemahaman, tidak semua bentuk pemahaman abash/valid seluruhnya, dan ada sebuah realitas yang bebas dari pemahaman individu. Jika hal ini tidak benar , para guru akan memiliki peran kecil dalam penddidkan, dan akibatnya, kontruksivisme akan muncul begitu saja. Tentu saja, kondisi ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa para guru saat ini makin dibebani oleh ttangguh jawab untuk memfasilitasi perolehan pengetahuan kognitif konkret yang diukur berdasarkan penilaian-penilaian terstandarisasi dan berpatokan tinggi.
Lingkungan pembelajaran kontruksivis mengutamakan dan memfasilitasi peran aktif siswa. Lingkungan kunjungan pembelajaran kontruktivis mengutamakan mengubah fokus dari penyebaran informasi oleh guru, yang mendorong peran pasif siswa, menuju otonomi dan refleksi siswa yang mendorong aktif siswa. Strategi-strategi pembelajaran aktif menganjurkan aktivitas-aktivitas pembelajaran yang didalamnya siswa diberikan otonomi dan control yang luas untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas pembelajaran yang meliputi pemecahan masalah, berkerja dalam bentuk kelompok kecil, pembelajaran kolaboraatif, kerja investigative dan pembelajaran eksperimental . Sebaliknya aktivitas-aktivitas pembelajaran pasif, yang didalamnya siswa hanya dalam aktivitas mendengarkan (listening). apa yang dikatakan oleh guru dan tak jarang merka diberi penyataan-pernyataan yang kurang berkualitas. Pergeseran paradigma pembelajaran kontruktivis ini didasarkan pada gagasan bahwa secara alamiah pada pembelajaran sebenarnya sudah memiliki sifat aktif dan rasa ingin tahu, yang kedua sifat ini kemudian menjadikan metode ceramah (lecture) dan buku ajar (textbook) bukan sebagai penekanan utama dalam pengajaran kelas. Pergeseran semacam ini bukan berarti bahwa tidak perlu menjelaskan pada siswa. Sebaliknya ia justru menyiratkan bahwa kita seharusnya curiga mengenai seberapa banyak pemahaman dari penjelasan-penjelasan yang telah kita berikandan sejauh mana rekaman/catatan mereka tentang pengetahuan tesebut. Menyakini bahwa para pembelajar membangun dari pada sekedar mencatat , merekam pemahaman memiliki implikasi yang penting pada cara-cara kita mengajar. Selain beberapa peringatan yang telah dirinci sebelumnya, sebagai para pendidik, kita seharusnya melakukan hal-hal berikut:
a. Menyediakan berbagai
b. macam contoh dan repesentasi materi pelajaran pada para pembelajar.
c. Mendorong tingkat interaksi yang tinggi dalam pelajaran kita.
d. Menghubungkan materi pelajaran dengan duia nyata.
Meskipun tidak ada satupun teori kontruktivis yanga memerinci hal-hal berikut ini, banyak pendekatan kontruktivias yang merekomendasikan
a. Lingkungan-linngkungan pembelajaraan yang menantang dan rumit, dan tugas-tugas yang autentik.
b. Negoisasi sosial dan tanggung jawab bersama sebagai bagian dari bagian dari pembelajaran.
c. Representasi-representasi materi pelajaran yang berganda.
d. Pemahaman bahwa pengetahuan (dapat) dibangun.
e. Pengajaran yang berpusat pada siswa.
Selain kontruksivisme yang berpusat pada siswa memiliki fokus atau perhatian yang beragam. Pertama, saat membangun pemahaman mereka mengenai suatu materi pelajaran, mereka mengmbangkan perasaan personal bahwa pengetahuan adlah milik mereka (mereka memiliki pengetahuan) kedua, pemusatan siswa menekankan adanya penelitian dan pembelajaran berbasis masalah dan kerja kelompok. Aktivitas-aktivitas pemecahan masalah dalam kelompok dalam ruang kelas semacam ini beserta dengan komponen-komponen teori-teori kontruktivis lain yang berpusat pada siswa. Teori-teori kontruktivis mengenai pembelajaran juga dipengaruhi oleh piaget (1952-1959) dan teori-teori pembelajaran sosialnya Vygotsky. Kajian pieget fokus pada pengalaman-pengalaman individu-individu langsung yang menggerakkan pembelajaran secara berurutan pada periode waktu tertentu untuk membangun periode waktu untuk membangun penngetahuan perceptual, konkret, dan pada akhirnya abstrak. Kajian sosial vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dala tugas-tugas pembelajaran. Para pembelajaran meningkatkan meningkatkan peikiran mereka sendiri dengan sikap terbuka pada pandangan-pandangan dan wawasan-wawasan orang lain. Salah satu strategi pembelajaran kerja kelompok yang paling umum diimplementasikan adalah pembelajaran kooperatif yang didalamnya guru berperan dalam mendorong pembelajaran dengan menekankan pada kerja tim/kelompok sebagai lawan dari pendekatan koopetitif dalam pembelajaran. Dengan peran ini guru dapat sekali lagi memfasilitasi usaha siswa untuk mengontruksi pengetahuan.
3. Memotivasi siswa
Peran guru yang penting dalam mendorong pembelajaran siswa adalah meningkatkan keinginan siswa atau memotivasi untuk belajar. Untuk melakukan tugas ini, anda perlu memahami siswa-siwa anda dengan baik agar nantinya anda mampu menyediakan pengalaman-penganlaman pembelajaran, yang darinya siswa akan menemukan sesuatu yang menarik, bernilai, dan secara intrinsic memotivasi, menantang, dan berguna bagi mereka. Semakin baik anda memahami siswa anda, memahami minat-minat mereka, dan menilai tingkat-tingkat keterampilan mereka, maka semakin efektif anda bisa menjangkau dan mengajari mereka.dan menilai tingkat ketrampilan mereka, maka semakin efektif anda bisa menjangkau dan mengajari mereka.
Salah satu peran terpenting seorang guru adalah menyakinkan pada siswa bahwa kita terlibat bersama mereka disetiap tantangan dan berada “dalam sudut mereka” disetiap hal. Hal ini tentu saja membutuhkan strategi-strategi organisasional dan personal yang fokus pada nilai dan kekuatan motivasi intrinstik dan dampak positifnya pada prestasi akademik siswa. Sulit bagi siswa untuk berhasil jika mereka kekurangan motivasi untuk tetap fokus pada tugas-tugas yang menantang. Para guru peru mempertimbangkan faktor-faktor berikut ini untuk mendorong siswa fokus pada hasil pembelajaran yang diinginkan:
a. Mempertemukan kebutuhan-kebutuhan dan minat-minat.
b. Memusatkan tingkat-tingkat concern/ perhatian.
c. Memfasilitasi tanggapan atau kesadaran terhadap usaha-usaha yang masuk akal.
d. Memusatkan kemungkinan akan kesuksesan.
e. Menyediakan pengetahuan langsung atas hasil yang diperoleh.
Selain itu, strategi-strategi organisasional yang menuntun pada peningkatan keterlibatan siswa mensyraratkan adanya pembuatan kurikulum yang berguna dan menarik, penyediaan pengalaman-pengalaman dan materi-materi pembelajaran yang sesuai, dan pengalokasian waktu yang cukup untuk meningkatkan kesempatan-kesempatan siswa mempertinggi harapan-harapan mereka yang bertambah motivasi yang mereka dapatkan untuk mempertahankan dan mengupayakan tugas-tugas lain, penelitian menunjukkan bahwa motivasi merupakan variabel yang kuat dalam proses pembelajaran, bahkan boleh jadi merupakan variaabel yang lebih penting dari pada kemampuan.
Meskipun keterlibatan merupakan komponen penting dalam memotivasi atau menarik siswa, strategi-strategi organisasional guru seharusnya juga pada dukungan struktur dan ekonomi. Dengan menciptakan stuktur-stuktur internasional ruang kelas yang dapat meningkatkan keterlibatan siswa, para guru seharusnya fokus pada dukungan stuktur etonomi. Dengan menciptakan stuktur organisasional ruang kelas yang meningkatkan keterlibatan siswa, para guru dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan mencukupi kebutuhan kompetensi mereka. Selain strategi organisasional, interksi guru dengan siswa merupakan faktor motivasional yang juga penting. Strategi-strategi organisasional, strategi-strategi pengajaran personal untuk meningkatkan motivasi memerlukan sikap tulus, positif, semangat, dan dan suportif dari seorang guru, selainn itu salah satu cara paling ampuh dalam mengomunikasikan minat sebagai guru adalah mendengarkan apa yang siswa katakan dan membiarkan mereka mengetahui bahwa kita menghargai pemikiran-pemikiran dan kontribusi-kontribusi mereka pada kelas. Pada akhirnya, humor dapat menjadi perrangkat yang mutlak dilakukan untuk mendodorong hubungan positif antara anda dengan siswa-siswa anda.



Sumber :

David A.Jacobsen. Paul Eggen. Donald Kauchak, Methods for Teaching

Monday, 29 April 2013

PENGERTIAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI

Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir kemudian di Eropa. Sejak awal masehi hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia, para ilmuwan ketika itu mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia. Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya. Tiga tahapan itu adalah : 
1. Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia. 
2. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam. 
3. Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah. Comte kemudian membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis. 
Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan. Rintisan Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya berasal dari Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan Sosiologi. - Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain. - Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat. - Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial. - Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya -menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia. Pokok Bahasan Sosiologi. Fakta sosial Fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunya kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut. Contoh, di sekolah seorang murid diwajidkan untuk datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan individu (murid). Tindakan sosial Tindakan sosial adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial, tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial. Khayalan sosiologis Khayalan sosiologis diperlukan untuk dapat memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun yang ada dalam diri manusia. Menurut Wright Mills, dengan khayalan sosiologi, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan denngan keduanya . Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah troubles dan issues. Troubles adalah permasalahan pribadi individu dan merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi. Issues merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu. Contoh, jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran itu adalah trouble. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan keterampilan pribadi. Sementara jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan issue, yang pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi. Realitas sosial Seorang sosiolog harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif. Perkembangan Sosiologi dari Abad ke Abad Perkembangan pada abad pencerahan Banyak ilmuwan-ilmuwan besar pada zaman dahulu, seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia terbentuk begitu saja. Tanpa ada yang bisa mencegah, masyarakat mengalami perkembangan dan kemunduran. Pendapat itu kemudian ditegaskan lagi oleh para pemikir di abad pertengahan, seperti Agustinus, Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas. Mereka berpendapat bahwa sebagai makhluk hidup yang fana, manusia tidak bisa mengetahui, apalagi menentukan apa yang akan terjadi dengan masyarakatnya. Pertanyaan dan pertanggungjawaban ilmiah tentang perubahan masyarakat belum terpikirkan pada masa ini. Berkembangnya ilmu pengetahuan di abad pencerahan (sekitar abad ke-17 M), turut berpengaruh terhadap pandangan mengenai perubahan masyarakat, ciri-ciri ilmiah mulai tampak di abad ini. Para ahli di zaman itu berpendapat bahwa pandangan mengenai perubahan masyarakat harus berpedoman pada akal budi manusia. ANTROPOLOGI Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Definisi Antropologi menurut para ahli William A. Havilan: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia David Hunter:Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Sejarah Seperti halnya sosiologi, antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut: fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi. Sekitar abad ke-15-16,bangsa-bangsadi Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa. Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi. Fase Kedua (tahun 1800-an) Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropasebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Fase Ketiga (awal abad ke-20) Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial. Fase Keempat (setelah tahun 1930-an) Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp Sumber: Wikipedia/sosiologi_antropologi.org

Ilmu dan Moral

Dewasa ini, ilmu sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan pencintaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mancapai tujuan hidup itu sendiri. “ bukan lagi Goethe yang menciptakan faust, melainkan faust yang menciptakan Goethe.” Perkataan ini, diungkapkan oleh ahli jiwa terkenal Carl Gustav Jung. Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuwan harus berpaling ke hakikat moral? Bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan dengan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nilai-nilai moral (agama) sebenarnya sudah terbantahkan ketika Copernicus mengemukakan teorinya “bumi yang berputar mengelilingi matahari” sementara ajaran agama menilai sebaliknya, maka timbullah interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonotasi metafisik, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan, diantaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini, yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo, yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini, para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”, setelah pertarungan itulah ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu. Artinya kebebasan dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya. Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun kongkret seperti teknologi. Teknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan ataukah masalah moral? Apabila teknologi itu menimbulkan ekses yang negatif terhadap masyarakat. Dihadapkan dengan masalah moral dalam akses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama, berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo. Golongan kedua, berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: 
1. Ilmu secara faktual telah diperguanakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuwan.
 2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan. 
3. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial. Berdasarkan ketiga hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada epistemologisnya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang paling menakutkan 

Sumber : 

Carl Gustav Jung, Psychology and Literature, New York: Mentor, 1960,
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007

 
Design Downloaded from Photoshop Patterns | Free Backgrounds